KAMMI, TRANSFORMASI DARI GERAKAN NABI MUSA KE NABI YUSUF


Sebagian besar Al Qur’an berisi tentang sejarah, yang kita tahu bahwa fungsi dari dipaparkan sejarah adalah agar para pembahaca bisa memahami realita masa lalu dan masa kini. Poin penting dari hadirnya sejarah adalah agar bisa menjadi “guru” yang senantiasa memberikan pengajaran berharga.
Tidak hanya orang-orang taat yang diceritakan di dalam Al Qur’an, orang-orang sesat dan menyimpang pun banyak diceritakan di dalamnya. Hadirnya berbagai kisah orang-orang yang beruntung, merugi dan celaka di dalam Al Qur’an salah satu fungsinya agar kita bisa memilih mana jalan yang baik mana jalan yang buruk.
Kisah Nabi Musa, sangat banyak ayat yang mengupas tentang riwayatnya. Keberaniannya dalam mendakwahi Fir’aun, mengatakan yang haq di hadapannya, dihadapkan dengan penyihir dan masih banyak lagi kisah heroik Nabi Musa. Lihatlah keberanian sosok Nabi Musa berdakwah di depan Fir’aun :
Dan Musa berkata: "Hai Firaun, sesungguhnya aku ini adalah seorang utusan dari Tuhan semesta alam, wajib atasku tidak mengatakan sesuatu terhadap Allah, kecuali yang hak. Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israel (pergi) bersama aku". (QS. Al A’raf 104-105)
Kisah kedua adalah Nabi Yusuf AS. Sosok Nabi yang berintegritas. Sosok soleh dan juga cendikiawan. Dari dalam sumur hingga Negara, begitulah jejak perjuanganya dalam mendakwahkan ajaran tauhid. Lihatlah ayat berikut ini :
Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini". Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik". Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.(QS. Yusuf : 25)
Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".(QS. Yusuf :55)
Nabi Yusuf adalah sosok yang sangat kuat imannya, terlihat pada QS. Yusuf : 25, ketika digoda oleh seorang wanita di dalam kamar dia tetap menjaga kehormatan dirinya, integritas.
Ayat berikutnya Yusuf dengan “PD” menawarkan diri menjadi bendaharawan Negara. Hal ini menggambarkan sosoknya yang faham dalam mengurus keuangan Negara. Dengan kata lain Yusuf adalah seorang yang berkompeten dalam keilmuan perbendaharaan Negara.
Mencoba menarik kisah Nabi Musa dan Nabi Yusuf kedalam realitas kontemporer, dalam konteks ke KAMMI-an. KAMMI sejak kemunculannya dalam pergulatan reformasi, menampakkan diri sebagai sosok “Musa”, yang memberikan perlawanan kepada penguasa tirani pada saat itu. “Kebatilan adalah musuh Abadi KAMMI” kata-kata ini sangat familiar di telinga para kadernya pada saat itu. Aksi turun ke jalan, menyuarakan aspirasi mahasiswa dan rakyat merupakan pemandangan biasa dalam aktivitasnya. Kesamaan gerakan KAMMI dan karakter Nabi Musa pada saat itu adalah Gerakan Perlawanan.
Di Usianya yang ke 15 menjelang 16, KAMMI bertransformasi dari gerakan perlawanan menjadi gerakan kontribusi. Jika di ditarik dalam konteks sejarah, maka KAMMI sekarang harus berjuang seperti Nabi Yusuf AS. Tidak lagi meneriakkan kritikan tanpa solusi, namun memberikan solusi dengan cara yang elegan. Sosok Nabi Yusuf yang berintegritas dan frofesional dalam bidang keilmuan haruslah mengakar dalam diri-diri kader KAMMI.

#soe #narasipemuda

Mendudukkan Wacana Demokrasi

Oleh: Akmal Sjafril
Pembahasan soal demokrasi di tengah-tengah umat Muslim adakalanya mengundang perdebatan yang sangat tajam. Sebagian Muslim bahkan terdorong untuk saling menuduh ‘aqidah masing-masing lantaran demokrasi. Sebagian di antara mereka yang menolak demokrasi menganggapnya sebagai pencemar ‘aqidah, bahkan sebagai kemusyrikan yang besar. Oleh karena itu, mereka memandang siapa pun yang terlibat dalam demokrasi sebagai penyembah thaghut, pelaku syirik, dan batal syahadatnya.
Argumen yang paling sering mengemuka adalah bahwa demokrasi merupakan sistem yang diimpor dari Barat. Karena ia tidak berasal dari khazanah pemikiran Islam, maka ia tidaklah kompatibel dengan ajaran Islam yang benar.
Jika ditilik dari asal-muasal katanya, demokrasi memang berasal dari Barat. Nama “demokrasi” sendiri terambil dari kata-kata dalam bahasa Yunani yang jika dipadukan bermakna “kekuasaan rakyat”. Akan tetapi, sudah bukan rahasia lagi bila demokrasi kemudian dimaknai dan dipraktekkan dengan cara yang berbeda-beda di seluruh belahan dunia. Contohnya, antara lain, di Korea Utara, yang ‘nama resminya’ adalah The Democratic People’s Republic of Korea. Padahal, di mata dunia, Korea Utara sama sekali tidak dianggap sebagai negeri yang ‘demokratis’.
Demokrasi yang berlaku di Korea Utara tentu tidak sama dengan yang berlaku di Barat. Demikian pula demokrasi yang berlaku di antara negara-negara Barat pun tidak semuanya sama. Masing-masing mengambil bentuknya sendiri.
Di Indonesia pun demokrasi telah ditafsirkan dengan berbagai cara. Secara formal, demokrasi yang berlaku di negeri ini adalah Demokrasi Pancasila. Akan tetapi, pengejawantahannya bermacam-macam. Di jaman Orde Lama, pernah berlaku demokrasi yang ‘ramah’ terhadap golongan komunis yang anti Tuhan, padahal sila pertama dalam Pancasila justru berbicara tentang masalah Ketuhanan. Pada masa-masa Orde Lama pula kita mengenal istilah ‘Demokrasi Terpimpin’ yang karakternya lain lagi.
Di masa Orde Baru, nama “Demokrasi Pancasila” masih terus digunakan. Meski demikian, sudah bukan rahasia lagi bahwa demokrasi yang dipraktekkan pada masa-masa itu bersikap represif terhadap gerakan-gerakan politik, apalagi yang bercorak Islam. ‘Keran politik’ disumbat, sehingga pemerintah hanya memperbolehkan eksistensi tiga parpol. Selain itu, gerakan-gerakan Islam yang membawa misi politis semuanya bergerak di bawah tanah, sebab tidak ada keleluasaan untuk bergerak secara terbuka.
Ketika Orde Reformasi dikumandangkan, Indonesia mengadopsi bentuk demokrasi yang lain lagi. Indonesia memasuki babak baru dalam sejarahnya dengan keterbukaan informasi dan kebebasan politik yang sangat dominan. Setiap kelompok boleh mendirikan parpol, meski yang boleh berpartisipasi dalam Pemilu hanyalah yang mampu memenuhi kualifikasi administratif tertentu. Gerakan-gerakan Islam pun menjamur, atau, lebih tepatnya, muncul ke permukaan. Kelompok-kelompok yang tadinya ‘tiarap’ kini bisa bebas berwacana, termasuk wacana untuk menolak demokrasi itu sendiri.

Demokrasi di Mata Ulama
Dalam salah satu fatwanya, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan demokrasi sebagai berikut:
Esensi demokrasi – terlepas dari definisi dan istilah akademis – ialah masyarakat memilih seseorang untuk mengurus dan mengatur urusan mereka. Pemimpinnya bukan orang yang mereka benci, peraturannya bukan yang tidak mereka kehendaki, mereka berhak meminta pertanggungjawaban penguasa apabila pemimpin tersebut salah, dan berhak memecatnya jika menyeleweng, mereka juga tidak boleh dibawa kepada arah dan sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau sistem politik yang tidak mereka kenal dan tidak mereka sukai. Kemudian, apabila ada yang menyimpang dan menentang kesepakatan ini, ia boleh diusir dan dihukum, bahkan disiksa dan dibunuh sekalipun. (Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid II, hlm. 917-918)
Kita dapat melihat bagaimana Syaikh al-Qaradhawi dengan segera ‘melepaskan diri’ dari definisi dan istilah akademis, sebab yang relevan sesungguhnya adalah apa yang berlaku ‘di lapangan’. Dari berbagai variannya, demokrasi dalam pandangan beliau ialah suatu kondisi di mana masyarakat memiih sendiri pemimpin mereka, membuat peraturannya sendiri, dan kemudian menuntut pertanggung jawaban dari pemimpin mereka berdasarkan aturan-aturan yang telah mereka sepakati itu.
Proses yang dilalui oleh rakyat ketika memilih pemimpin yang mereka sukai adalah proses yang sangat alami dan merupakan sunnatullaah. Sudah sewajarnya manusia melakukan hal yang demikian itu. Oleh sebab itu, dalam salah satu hadits-nya, Nabi saw memuji para pemimpin yang dicintai dan mencintai rakyatnya, juga mencela pemimpin yang dibenci dan membenci rakyatnya.
Sebaik-baik pemimpin kamu – yakni pemegang kendali pemerintahan kamu – ialah orang yang kamu cintai dan mencintai kamu, mendoakan kebaikanmu dan kamu doakan kebaikan untuknya. Dan sejelek-jelek pemimpin kamu ialah yang kamu benci dan membenci kamu, yang kamu kutuk dan mengutuk kamu.  (HR. Muslim)
Jangankan dalam masalah kenegaraan yang berskala besar, dalam masalah shalat pun manusia sudah sewajarnya memilih imam yang disukai.
“Ada tiga orang yang shalatnya tidak diangkat melebihi kepalanya sejengkal pun…” Lalu beliau menyebutkan yang pertama, yaitu “Orang yang mengimami suatu kaum, sedangkan mereka tidak menyukainya…”  (HR. Ibnu Majah)
Tidak diragukan lagi, sumber dari segala perbedaan penafsiran dan pengejawantahan demokrasi terletak pada pilihan rakyat itu sendiri, sebab rakyatlah yang pada hakikatnya menentukan arah demokrasi yang hendak dianutnya. Di sisi lain, syari’at jugalah yang telah ‘membuka’ kesempatan pada rakyat untuk memilih pemimpin yang disukainya. Jika demikian, di manakah ‘missing link’ yang dapat menghubungkan dua kondisi yang seolah kontradiktif ini?
Untuk memahami hubungan antara rakyat, pemimpin dan sistem pemerintahan yang berlaku, antara lain dapat dipahami dari kisah Fir’aun dalam al-Qur’an. Fir’aun adalah seorang pemimpin zalim yang paling banyak diceritakan di dalam al-Qur’an. Jika kita melacak sumber-sumber penyimpangan Fir’aun, kita akan temukan bahwa faktor-faktor pembentuknya bukan bersumber dari dirinya sendiri saja, melainkan juga dari rakyatnya sendiri.
Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasiq.  (QS. az-Zukhruf [43]: 54)
Fir’aun memang berperan besar dalam mempengaruhi rakyatnya dengan kata-katanya. Dengan cara tertentu, ia bisa meyakinkan rakyatnya untuk tetap patuh kepadanya. Akan tetapi, rakyatnya itu hanya dapat dipengaruhinya karena mereka sendiri adalah orang-orang yang fasiq. Dengan kata lain, andaikan rakyat Mesir pada masa itu bukanlah orang-orang yang fasiq, pasti mereka takkan patuh begitu saja pada Fir’aun. Atau barangkali, jika mereka tidak fasiq, maka Fir’aun pun takkan pernah mendapatkan kekuasaan.
Dengan demikian, ada semacam ‘pesan tarbawi’ yang tersembunyi di balik penjelasan Syaikh al-Qaradhawi. Dengan mengatakan bahwa esensi demokrasi adalah memberikan semacam ‘kebebasan’ kepada rakyat, maksudnya bukanlah membiarkan mereka memilih berdasarkan hawa nafsunya sendiri. Sebaliknya, para kader dakwah perlu melihat kewajiban mereka untuk men-tarbiyah umat sehingga mereka berpikir dengan cara yang Islami. Hal ini konsisten dengan penjelasan Syaikh al-Qaradhawi sendiri yang merupakan lanjutan dari fatwa beliau tentang demokrasi:
Perlu diingat bahwa kita sedang membicarakan demokrasi dalam masyarakat muslim, yang mayoritas mereka adalah orang-orang yang mengerti dan mengetahui, beriman dan bersyukur. Kita tidak sedang membicarakan masyarakat ateis atau masyarakat yang telah tersesat dari jalan Allah. (Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid II, hlm. 934)
Demokrasinya kaum kapitalis berbeda dengan demokrasinya kaum komunis, demikuan pula demokrasinya kaum yang fasiq tentu berbeda dengan demokrasinya masyarakat Muslim yang dibimbing oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara orang-orang fasiq akan memilih ‘Fir’aun-Fir’aun’ sebagai pemimpinnya, maka masyarakat Muslim yang cerdas dan memiliki ‘izzah (kebanggaan) terhadap agamanya tentu takkan rela jika dipimpin oleh orang yang saleh.
Para da’i-lah yang berkewajiban untuk menuntun umat sehingga mereka berpikir dengan cara berpikir yang Islami, memilih apa-apa yang patut dipilih, dan bahkan memiliki ‘selera’ yang Islami pula. Jika rakyat sudah tidak berselera lagi pada hal-hal yang buruk, maka yang buruk itu pun akan kehilangan pengaruhnya. Sementara rakyat masih belum kapok memilih parpol-parpol yang korup, maka adalah tugas tarbiyah untuk membuat mereka menyadari bahwa ada alternatif lain yang lebih baik. Jika rakyat masih ‘berselera buruk’, maka mereka masih akan memilih pribadi-pribadi yang tidak amanah untuk mewakili mereka di parlemen, atau malah memilih wakilnya berdasarkan popularitas atau ketampanan/kecantikan belaka.
Perjuangan di ranah politik tidak boleh dipisahkan dari lini dakwah yang paling utama, yaitu tarbiyah. Sebagaimana pepatah yang kerap beredar di kalangan para aktivis dakwah, “tarbiyah memang bukan segala-galanya, namun segala-galanya harus bermula dari tarbiyah.” Oleh karena itu, peran para da’i sebagai murabbi memiliki posisi yang teramat penting, bahkan dalam beberapa hal posisi ini lebih penting dari seorang anggota legislatif sekalipun. Hal ini sejalan dengan kata-kata seorang ustadz yang terekam dalam buku Menjadi Murabbi Itu Mudah:
Sang ustadz mengatakan, “Yang membuat saya bangga dalam dakwah ini adalah pekerjaan saya sebagai murabbi. Ini pekerjaan yang tidak bisa di-outsource-kan. Sebenarnya banyak pekerjaan dalam dakwah ini yang bisa dipihakketigakan. Tidak semua harus kita tangani sendiri. Bahkan dalam kondisi tertentu, posisi anggota dewan itu bisa di-outsource-kan. Namun tidak dengan murabbi. Pekerjaan ini hanya bisa diserahkan kepada kita, kader-kader tarbiyah.” (Menjadi Murabbi Itu Mudah, hlm. 27)
Perjuangan di ranah yudikatif, eksekutif dan legislatif, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari demokrasi yang berlaku di negeri kita, tidak dapat dipandang secara terpisah dengan proses tarbiyah yang telah dan sedang berlangsung. Sebelum perjuangan dalam sistem demokrasi ini dimulai, para da’i telah men-tarbiyah rakyat untuk mempersiapkan mereka, sebab merekalah yang mampu mengubah sistem. Selagi perjuangan belum lagi selesai, proses tarbiyah pun harus terus berjalan.

Penolakan Terhadap Demokrasi
Jika yang hendak ditolak adalah demokrasi sekuler ala Barat, maka penolakan ini memang sangat beralasan dan sesungguhnya merupakan sikap yang wajib diikuti oleh setiap Muslim, apalagi kader dakwah. Akan tetapi, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, demokrasi itu sendiri multitafsir, dan setiap kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk menafsirkannya dengan caranya masing-masing. Dalam hal ini, gerakan dakwah Islam memiliki hak yang sama dengan yang lainnya untuk menawarkan konsep demokrasinya sendiri. Paling tidak, hal ini telah dinikmati bersama oleh semua gerakan dakwah dalam atmosfer demokrasi di Era Reformasi.
Di sisi lain, perjuangan di ranah politik adalah ijtihad belaka, dan dengan demikian, ia tidak bisa digunakan untuk menafikan ijtihad lainnya. Tidak ada kewajiban untuk ikut berjuang dalam arus demokrasi, misalnya di bidang legislatif, meskipun politik adalah bagian yang tak terpisahkan dari ajaran Islam. Dengan demikian, jika ada gerakan dakwah Islam yang menolak untuk terlibat di jalur politik praktis, maka hal itu sah-sah saja.
Berpolitik atau tidak, berdemokrasi atau tidak, tugas dakwah dari setiap harakah dakwah adalah melakukan tarbiyah kepada umat. Jika suatu harakah dakwah telah mendahulukan perjuangan ‘di dalam sistem’ – atau sebaliknya, mendahulukan penolakan terhadapnya – ketimbang melakukan proses tarbiyah dengan benar, maka sesungguhnya harakah tersebut telah mengkhianati fungsi dasarnya sendiri.

Meneladani Dakwah Nabi saw
Banyak yang berargumen bahwa perjuangan dalam sistem demokrasi itu tidak sesuai dengan keteladanan Rasulullah saw. Akan tetapi, apakah penolakan mentah-mentah dan tanpa perhitungan terhadap sistem yang berlaku itu juga dapat dianggap telah meneladani dakwah Rasulullah saw?
Pada tahap-tahap awal dakwahnya, Rasulullah saw tidak bersikap apatis terhadap masyarakat, kekuatan-kekuatan politik yang berkuasa, dan sistem yang tengah berlaku. Sebaliknya, pada masa-masa itu, beliau men-tarbiyah para sahabatnya secara intens, meski konsekuensinya harus bergerak ‘di bawah tanah’. Saat itu, jangankan memerangi orang-orang kafir, mendebatnya pun dilarang. Sebaliknya, Nabi saw dan para pengikutnya diperintahkan untuk berpaling dari orang-orang kafir yang mengganggunya.
Proses tarbiyah terus berlangsung di Mekkah, sementara pada saat yang bersamaan beberapa orang sahabat telah diutus untuk berlindung dan meneruskan dakwah di Yatsrib. Ketika tiba saatnya untuk berhijrah, Yatsrib sudah dalam keadaan ‘siap’ untuk dipimpin oleh Rasulullah saw, sehingga ia pun berganti nama menjadi Madinatur-Rasul (Kota Sang Rasul). Tidak ada ‘keajaiban’ dalam dakwah di Madinah, sebab pondasi tarbiyah-nya telah diletakkan bertahun-tahun sebelum peristiwa Hijrah. Karena masyarakat Madinah telah lebih duluan siap menerima kepemimpinan Nabi saw, maka di sanalah dakwah menyemai hasil perjuangannya selama bertahun-tahun, yaitu berlakunya sistem yang diwarnai oleh ajaran Islam.
Rasulullah saw berdakwah dengan penuh kesabaran, tidak memaksakan rakyat untuk menerima ‘sistem Islam’ sementara masyarakatnya belum siap. Sistem yang sempurna sekalipun takkan tegak tanpa manusia-manusia yang akan menegakkannya. Oleh karena itu, pembinaan masyarakat haruslah didahulukan dari pembenahan sistem. Dengan demikian, jika kesadaran untuk mengoreksi sistem yang berlaku adalah suatu hal yang baik, sebaliknya memaksakan perubahan radikal tanpa mempersiapkan umat adalah hal yang menyelesihi tuntunan dakwah Nabi saw, bahkan bisa jadi kontraproduktif terhadap dakwah. Sebab, tindakan radikal semacam itu justru mengundang konfrontasi yang tidak dikehendaki dengan masyarakat.
Kesabaran adalah elemen penting – jika bukan yang terpenting – dalam dakwah. Untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah bertumpuk-tumpuk selama puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun, kita tidak mungkin berharap bisa menyelesaikannya dalam waktu beberapa tahun saja. Kita pun tidak dapat bercermin pada masa dakwah Rasulullah saw yang hanya sekitar dua dekade saja tanpa memperbandingkan kualitas diri kita dengan para sahabat beliau. Dakwah memiliki tantangan yang berbeda-beda di setiap wilayah dan di setiap jaman. Oleh karena itu, pembenahan di setiap lini harus mendapat perhatian dari para kader dakwah. Di balik setiap agenda gerakan dakwah, tentu saja, ada proses tarbiyah yang harus mendapat prioritas paling tinggi.
Seumber : http://www.al-intima.com/harakatuna/mendudukkan-wacana-demokrasi