Oleh: Akmal Sjafril
Pembahasan soal demokrasi di tengah-tengah umat Muslim adakalanya
mengundang perdebatan yang sangat tajam. Sebagian Muslim bahkan
terdorong untuk saling menuduh
‘aqidah masing-masing lantaran demokrasi. Sebagian di antara mereka yang menolak demokrasi menganggapnya sebagai pencemar
‘aqidah,
bahkan sebagai kemusyrikan yang besar. Oleh karena itu, mereka
memandang siapa pun yang terlibat dalam demokrasi sebagai penyembah
thaghut, pelaku
syirik, dan batal syahadatnya.
Argumen yang paling sering mengemuka adalah bahwa demokrasi merupakan
sistem yang diimpor dari Barat. Karena ia tidak berasal dari khazanah
pemikiran Islam, maka ia tidaklah kompatibel dengan ajaran Islam yang
benar.
Jika ditilik dari asal-muasal katanya, demokrasi memang berasal dari
Barat. Nama “demokrasi” sendiri terambil dari kata-kata dalam bahasa
Yunani yang jika dipadukan bermakna “kekuasaan rakyat”. Akan tetapi,
sudah bukan rahasia lagi bila demokrasi kemudian dimaknai dan
dipraktekkan dengan cara yang berbeda-beda di seluruh belahan dunia.
Contohnya, antara lain, di Korea Utara, yang ‘nama resminya’ adalah
The Democratic People’s Republic of Korea. Padahal, di mata dunia, Korea Utara sama sekali tidak dianggap sebagai negeri yang ‘demokratis’.
Demokrasi yang berlaku di Korea Utara tentu tidak sama dengan yang
berlaku di Barat. Demikian pula demokrasi yang berlaku di antara
negara-negara Barat pun tidak semuanya sama. Masing-masing mengambil
bentuknya sendiri.
Di Indonesia pun demokrasi telah ditafsirkan dengan berbagai cara.
Secara formal, demokrasi yang berlaku di negeri ini adalah Demokrasi
Pancasila. Akan tetapi, pengejawantahannya bermacam-macam. Di jaman Orde
Lama, pernah berlaku demokrasi yang ‘ramah’ terhadap golongan komunis
yang anti Tuhan, padahal sila pertama dalam Pancasila justru berbicara
tentang masalah Ketuhanan. Pada masa-masa Orde Lama pula kita mengenal
istilah ‘Demokrasi Terpimpin’ yang karakternya lain lagi.
Di masa Orde Baru, nama “Demokrasi Pancasila” masih terus digunakan.
Meski demikian, sudah bukan rahasia lagi bahwa demokrasi yang
dipraktekkan pada masa-masa itu bersikap represif terhadap
gerakan-gerakan politik, apalagi yang bercorak Islam. ‘Keran politik’
disumbat, sehingga pemerintah hanya memperbolehkan eksistensi tiga
parpol. Selain itu, gerakan-gerakan Islam yang membawa misi politis
semuanya bergerak di bawah tanah, sebab tidak ada keleluasaan untuk
bergerak secara terbuka.
Ketika Orde Reformasi dikumandangkan, Indonesia mengadopsi bentuk
demokrasi yang lain lagi. Indonesia memasuki babak baru dalam sejarahnya
dengan keterbukaan informasi dan kebebasan politik yang sangat dominan.
Setiap kelompok boleh mendirikan parpol, meski yang boleh
berpartisipasi dalam Pemilu hanyalah yang mampu memenuhi kualifikasi
administratif tertentu. Gerakan-gerakan Islam pun menjamur, atau, lebih
tepatnya, muncul ke permukaan. Kelompok-kelompok yang tadinya ‘tiarap’
kini bisa bebas berwacana, termasuk wacana untuk menolak demokrasi itu
sendiri.
Demokrasi di Mata Ulama
Dalam salah satu fatwanya, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan demokrasi sebagai berikut:
Esensi demokrasi – terlepas dari definisi dan istilah akademis –
ialah masyarakat memilih seseorang untuk mengurus dan mengatur urusan
mereka. Pemimpinnya bukan orang yang mereka benci, peraturannya bukan
yang tidak mereka kehendaki, mereka berhak meminta pertanggungjawaban
penguasa apabila pemimpin tersebut salah, dan berhak memecatnya jika
menyeleweng, mereka juga tidak boleh dibawa kepada arah dan sistem
ekonomi, sosial, kebudayaan, atau sistem politik yang tidak mereka kenal
dan tidak mereka sukai. Kemudian, apabila ada yang menyimpang dan
menentang kesepakatan ini, ia boleh diusir dan dihukum, bahkan disiksa
dan dibunuh sekalipun. (Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid II, hlm. 917-918)
Kita dapat melihat bagaimana Syaikh al-Qaradhawi dengan segera
‘melepaskan diri’ dari definisi dan istilah akademis, sebab yang relevan
sesungguhnya adalah apa yang berlaku ‘di lapangan’. Dari berbagai
variannya, demokrasi dalam pandangan beliau ialah suatu kondisi di mana
masyarakat memiih sendiri pemimpin mereka, membuat peraturannya sendiri,
dan kemudian menuntut pertanggung jawaban dari pemimpin mereka
berdasarkan aturan-aturan yang telah mereka sepakati itu.
Proses yang dilalui oleh rakyat ketika memilih pemimpin yang mereka sukai adalah proses yang sangat alami dan merupakan
sunnatullaah. Sudah sewajarnya manusia melakukan hal yang demikian itu. Oleh sebab itu, dalam salah satu
hadits-nya,
Nabi saw memuji para pemimpin yang dicintai dan mencintai rakyatnya,
juga mencela pemimpin yang dibenci dan membenci rakyatnya.
Sebaik-baik pemimpin kamu – yakni pemegang kendali pemerintahan
kamu – ialah orang yang kamu cintai dan mencintai kamu, mendoakan
kebaikanmu dan kamu doakan kebaikan untuknya. Dan sejelek-jelek pemimpin
kamu ialah yang kamu benci dan membenci kamu, yang kamu kutuk dan
mengutuk kamu. (HR. Muslim)
Jangankan dalam masalah kenegaraan yang berskala besar, dalam masalah
shalat pun manusia sudah sewajarnya memilih imam yang disukai.
“Ada tiga orang yang shalatnya tidak diangkat melebihi kepalanya
sejengkal pun…” Lalu beliau menyebutkan yang pertama, yaitu “Orang yang
mengimami suatu kaum, sedangkan mereka tidak menyukainya…” (HR. Ibnu Majah)
Tidak diragukan lagi, sumber dari segala perbedaan penafsiran dan
pengejawantahan demokrasi terletak pada pilihan rakyat itu sendiri,
sebab rakyatlah yang pada hakikatnya menentukan arah demokrasi yang
hendak dianutnya. Di sisi lain,
syari’at jugalah yang telah ‘membuka’ kesempatan pada rakyat untuk memilih pemimpin yang disukainya. Jika demikian, di manakah ‘
missing link’ yang dapat menghubungkan dua kondisi yang seolah kontradiktif ini?
Untuk memahami hubungan antara rakyat, pemimpin dan sistem
pemerintahan yang berlaku, antara lain dapat dipahami dari kisah Fir’aun
dalam al-Qur’an. Fir’aun adalah seorang pemimpin zalim yang paling
banyak diceritakan di dalam al-Qur’an. Jika kita melacak sumber-sumber
penyimpangan Fir’aun, kita akan temukan bahwa faktor-faktor pembentuknya
bukan bersumber dari dirinya sendiri saja, melainkan juga dari
rakyatnya sendiri.
Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu
mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang
fasiq. (QS. az-Zukhruf [43]: 54)
Fir’aun memang berperan besar dalam mempengaruhi rakyatnya dengan
kata-katanya. Dengan cara tertentu, ia bisa meyakinkan rakyatnya untuk
tetap patuh kepadanya. Akan tetapi, rakyatnya itu hanya dapat
dipengaruhinya karena mereka sendiri adalah orang-orang yang
fasiq. Dengan kata lain, andaikan rakyat Mesir pada masa itu bukanlah orang-orang yang
fasiq, pasti mereka takkan patuh begitu saja pada Fir’aun. Atau barangkali, jika mereka tidak
fasiq, maka Fir’aun pun takkan pernah mendapatkan kekuasaan.
Dengan demikian, ada semacam ‘pesan
tarbawi’ yang tersembunyi
di balik penjelasan Syaikh al-Qaradhawi. Dengan mengatakan bahwa esensi
demokrasi adalah memberikan semacam ‘kebebasan’ kepada rakyat, maksudnya
bukanlah membiarkan mereka memilih berdasarkan hawa nafsunya sendiri.
Sebaliknya, para kader dakwah perlu melihat kewajiban mereka untuk men-
tarbiyah
umat sehingga mereka berpikir dengan cara yang Islami. Hal ini
konsisten dengan penjelasan Syaikh al-Qaradhawi sendiri yang merupakan
lanjutan dari fatwa beliau tentang demokrasi:
Perlu diingat bahwa kita sedang membicarakan demokrasi dalam
masyarakat muslim, yang mayoritas mereka adalah orang-orang yang
mengerti dan mengetahui, beriman dan bersyukur. Kita tidak sedang
membicarakan masyarakat ateis atau masyarakat yang telah tersesat dari
jalan Allah. (Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid II, hlm. 934)
Demokrasinya kaum kapitalis berbeda dengan demokrasinya kaum komunis, demikuan pula demokrasinya kaum yang
fasiq tentu berbeda dengan demokrasinya masyarakat Muslim yang dibimbing oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara orang-orang
fasiq akan memilih ‘Fir’aun-Fir’aun’ sebagai pemimpinnya, maka masyarakat Muslim yang cerdas dan memiliki
‘izzah (kebanggaan) terhadap agamanya tentu takkan rela jika dipimpin oleh orang yang saleh.
Para
da’i-lah yang berkewajiban untuk menuntun umat sehingga
mereka berpikir dengan cara berpikir yang Islami, memilih apa-apa yang
patut dipilih, dan bahkan memiliki ‘selera’ yang Islami pula. Jika
rakyat sudah tidak berselera lagi pada hal-hal yang buruk, maka yang
buruk itu pun akan kehilangan pengaruhnya. Sementara rakyat masih belum
kapok memilih parpol-parpol yang korup, maka adalah tugas
tarbiyah
untuk membuat mereka menyadari bahwa ada alternatif lain yang lebih
baik. Jika rakyat masih ‘berselera buruk’, maka mereka masih akan
memilih pribadi-pribadi yang tidak
amanah untuk mewakili mereka di parlemen, atau malah memilih wakilnya berdasarkan popularitas atau ketampanan/kecantikan belaka.
Perjuangan di ranah politik tidak boleh dipisahkan dari lini dakwah yang paling utama, yaitu
tarbiyah. Sebagaimana pepatah yang kerap beredar di kalangan para aktivis dakwah, “
tarbiyah memang bukan segala-galanya, namun segala-galanya harus bermula dari
tarbiyah.” Oleh karena itu, peran para
da’i sebagai
murabbi
memiliki posisi yang teramat penting, bahkan dalam beberapa hal posisi
ini lebih penting dari seorang anggota legislatif sekalipun. Hal ini
sejalan dengan kata-kata seorang
ustadz yang terekam dalam buku
Menjadi Murabbi Itu Mudah:
Sang ustadz mengatakan, “Yang membuat saya bangga dalam dakwah ini
adalah pekerjaan saya sebagai murabbi. Ini pekerjaan yang tidak bisa
di-outsource-kan. Sebenarnya banyak pekerjaan dalam dakwah ini yang bisa
dipihakketigakan. Tidak semua harus kita tangani sendiri. Bahkan dalam
kondisi tertentu, posisi anggota dewan itu bisa di-outsource-kan. Namun
tidak dengan murabbi. Pekerjaan ini hanya bisa diserahkan kepada kita,
kader-kader tarbiyah.” (Menjadi Murabbi Itu Mudah, hlm. 27)
Perjuangan di ranah yudikatif, eksekutif dan legislatif, yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari demokrasi yang berlaku di negeri
kita, tidak dapat dipandang secara terpisah dengan proses
tarbiyah yang telah dan sedang berlangsung. Sebelum perjuangan dalam sistem demokrasi ini dimulai, para
da’i telah men-
tarbiyah rakyat untuk mempersiapkan mereka, sebab merekalah yang mampu mengubah sistem. Selagi perjuangan belum lagi selesai, proses
tarbiyah pun harus terus berjalan.
Penolakan Terhadap Demokrasi
Jika yang hendak ditolak adalah demokrasi sekuler ala Barat, maka
penolakan ini memang sangat beralasan dan sesungguhnya merupakan sikap
yang wajib diikuti oleh setiap Muslim, apalagi kader dakwah. Akan
tetapi, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, demokrasi itu
sendiri multitafsir, dan setiap kelompok memiliki kesempatan yang sama
untuk menafsirkannya dengan caranya masing-masing. Dalam hal ini,
gerakan dakwah Islam memiliki hak yang sama dengan yang lainnya untuk
menawarkan konsep demokrasinya sendiri. Paling tidak, hal ini telah
dinikmati bersama oleh semua gerakan dakwah dalam atmosfer demokrasi di
Era Reformasi.
Di sisi lain, perjuangan di ranah politik adalah
ijtihad belaka, dan dengan demikian, ia tidak bisa digunakan untuk menafikan
ijtihad
lainnya. Tidak ada kewajiban untuk ikut berjuang dalam arus demokrasi,
misalnya di bidang legislatif, meskipun politik adalah bagian yang tak
terpisahkan dari ajaran Islam. Dengan demikian, jika ada gerakan dakwah
Islam yang menolak untuk terlibat di jalur politik praktis, maka hal itu
sah-sah saja.
Berpolitik atau tidak, berdemokrasi atau tidak, tugas dakwah dari setiap
harakah dakwah adalah melakukan
tarbiyah kepada umat. Jika suatu
harakah
dakwah telah mendahulukan perjuangan ‘di dalam sistem’ – atau
sebaliknya, mendahulukan penolakan terhadapnya – ketimbang melakukan
proses
tarbiyah dengan benar, maka sesungguhnya
harakah tersebut telah mengkhianati fungsi dasarnya sendiri.
Meneladani Dakwah Nabi saw
Banyak yang berargumen bahwa perjuangan dalam sistem demokrasi itu
tidak sesuai dengan keteladanan Rasulullah saw. Akan tetapi, apakah
penolakan mentah-mentah dan tanpa perhitungan terhadap sistem yang
berlaku itu juga dapat dianggap telah meneladani dakwah Rasulullah saw?
Pada tahap-tahap awal dakwahnya, Rasulullah saw tidak bersikap apatis
terhadap masyarakat, kekuatan-kekuatan politik yang berkuasa, dan
sistem yang tengah berlaku. Sebaliknya, pada masa-masa itu, beliau men-
tarbiyah
para sahabatnya secara intens, meski konsekuensinya harus bergerak ‘di
bawah tanah’. Saat itu, jangankan memerangi orang-orang kafir,
mendebatnya pun dilarang. Sebaliknya, Nabi saw dan para pengikutnya
diperintahkan untuk berpaling dari orang-orang kafir yang mengganggunya.
Proses
tarbiyah terus berlangsung di Mekkah, sementara pada
saat yang bersamaan beberapa orang sahabat telah diutus untuk berlindung
dan meneruskan dakwah di Yatsrib. Ketika tiba saatnya untuk berhijrah,
Yatsrib sudah dalam keadaan ‘siap’ untuk dipimpin oleh Rasulullah saw,
sehingga ia pun berganti nama menjadi Madinatur-Rasul (Kota Sang Rasul).
Tidak ada ‘keajaiban’ dalam dakwah di Madinah, sebab pondasi
tarbiyah-nya
telah diletakkan bertahun-tahun sebelum peristiwa Hijrah. Karena
masyarakat Madinah telah lebih duluan siap menerima kepemimpinan Nabi
saw, maka di sanalah dakwah menyemai hasil perjuangannya selama
bertahun-tahun, yaitu berlakunya sistem yang diwarnai oleh ajaran Islam.
Rasulullah saw berdakwah dengan penuh kesabaran, tidak memaksakan
rakyat untuk menerima ‘sistem Islam’ sementara masyarakatnya belum siap.
Sistem yang sempurna sekalipun takkan tegak tanpa manusia-manusia yang
akan menegakkannya. Oleh karena itu, pembinaan masyarakat haruslah
didahulukan dari pembenahan sistem. Dengan demikian, jika kesadaran
untuk mengoreksi sistem yang berlaku adalah suatu hal yang baik,
sebaliknya memaksakan perubahan radikal tanpa mempersiapkan umat adalah
hal yang menyelesihi tuntunan dakwah Nabi saw, bahkan bisa jadi
kontraproduktif terhadap dakwah. Sebab, tindakan radikal semacam itu
justru mengundang konfrontasi yang tidak dikehendaki dengan masyarakat.
Kesabaran adalah elemen penting – jika bukan yang terpenting – dalam
dakwah. Untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah bertumpuk-tumpuk
selama puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun, kita tidak mungkin
berharap bisa menyelesaikannya dalam waktu beberapa tahun saja. Kita pun
tidak dapat bercermin pada masa dakwah Rasulullah saw yang hanya
sekitar dua dekade saja tanpa memperbandingkan kualitas diri kita dengan
para sahabat beliau. Dakwah memiliki tantangan yang berbeda-beda di
setiap wilayah dan di setiap jaman. Oleh karena itu, pembenahan di
setiap lini harus mendapat perhatian dari para kader dakwah. Di balik
setiap agenda gerakan dakwah, tentu saja, ada proses
tarbiyah yang harus mendapat prioritas paling tinggi.
Seumber : http://www.al-intima.com/harakatuna/mendudukkan-wacana-demokrasi